Naik Haji
di Masa Silam
Date de publication
Auteur publication
Perjalanan haji orang
Indonesia dan Nusantara pada masa silam hanya samar-samar diketahui karena
kekurangan sumber sejarah. Satu sumber yang terbengkalai adalah kisah pengalaman
yang ditulis oleh para jemaah Haji Di Masa Silam, yang terdiri dari 3 jilid,
merangkum kisah-kisah haji dari abad ke-15 sampai ke-19.
Jilid 1 menceritakan kisah pengalaman
berbagai tokoh dari Malaka, Banten, Riau, Singapura, dan Sumedang. Dituturkan
pula di dalam buku ini kisah seorang haji dari Aceh yang berkelana di Yaman
sebelum pulang ke Sumatra, kisah haji dari Minangkabau berziarah di Mesir dan
Yerusalem, dan kisah rekaan tentang pengalaman mistik seorang wali Makassar di
Tanah Suci. Beberapa penuntun ibadah haji, satu dalam bahasa Aceh, dua dalam
bentuk syair, satu lagi oleh seorang ulama tersohor dari Batavia, juga terdapat
dalam Jilid I ini.
Jilid II antologi ini meliputi kisah haji paruh pertama abad ke-20.
Di antaranya adalah rangkuman tiga artikel tentang ibadah haji pada tahun-tahun
awal abad ke-20, contoh peta kiblat yang digunakan para jemaah Indonesia dalam
perjalanan ke Mekkah, laporan tentang perjalanan haji orang Malaya, dan cerita
pengalaman haji Bupati Bandung tahun 1924. Kisah pengalaman Buya Hamka naik haji
pada 1927, ketika ia berumur 19 tahun, juga termuat di buku ini. Kisah-kisah
lain adalah kisah haji pada saat Indonesia menjadi merdeka: satu oleh seorang
ulama Kalimantan selama periode revolusi; satu oleh cendekiawan Aceh, Ali
Hasjmy, ketika ikut misi diplomatik ke Mekkah tahun 1949; dan satu lagi oleh
Buya Hamka ketika naik haji untuk kedua kalinya pada umur 42
tahun.
Jilid III antologi kisah haji ini meliputi dasawarsa 1954-1964.
Terdapat di dalamnya kisah pengalaman seorang wartawan Medan, Saiful U.A.;
laporan wartawan kondang, Rosihan Anwar; catatan perjalanan seorang cendekiawan
Malaysia, Harun Aminurrashid; renungan mistik Asrul Sani; serta cerita
pengalaman sutradara film, Misbach Yusa Biran.
Perjalanan haji pada masa itu sedang mengalami
perubahan mendasar. Urusan haji mulai dikelola oleh pemerintah R.I., sedangkan
pemerintah Saudi juga mengawali pekerjaan raksasa untuk memperbaharui situs
prosesi haji. Biarpun demikkian, para jemaah masih naik kapal laut dan jumlahnya
masih sangat kecil dibandingkan masa kini (antara sepersepuluh dan seperdua
puluh), sehingga para jemaah masih sempat melancong dan berkenalan dengan sesama
jemaah dari negara Islam yang lain. Jilid ini dilengkapi suatu uraian tentang
jumlah haji selama periode 1850-2012 seta bibliografi hampir 500 judul di
seputar sejarah perjalanan haji.
Perjalanan haji orang
Indonesia dan Nusantara pada masa silam hanya samar-samar diketahui karena
kekurangan sumber sejarah. Satu sumber yang terbengkalai adalah kisah pengalaman
yang ditulis oleh para jemaah Haji Di Masa Silam, yang terdiri dari 3 jilid,
merangkum kisah-kisah haji dari abad ke-15 sampai ke-19.
Jilid 1 menceritakan kisah pengalaman
berbagai tokoh dari Malaka, Banten, Riau, Singapura, dan Sumedang. Dituturkan
pula di dalam buku ini kisah seorang haji dari Aceh yang berkelana di Yaman
sebelum pulang ke Sumatra, kisah haji dari Minangkabau berziarah di Mesir dan
Yerusalem, dan kisah rekaan tentang pengalaman mistik seorang wali Makassar di
Tanah Suci. Beberapa penuntun ibadah haji, satu dalam bahasa Aceh, dua dalam
bentuk syair, satu lagi oleh seorang ulama tersohor dari Batavia, juga terdapat
dalam Jilid I ini.
Jilid II antologi ini meliputi kisah haji paruh pertama abad ke-20.
Di antaranya adalah rangkuman tiga artikel tentang ibadah haji pada tahun-tahun
awal abad ke-20, contoh peta kiblat yang digunakan para jemaah Indonesia dalam
perjalanan ke Mekkah, laporan tentang perjalanan haji orang Malaya, dan cerita
pengalaman haji Bupati Bandung tahun 1924. Kisah pengalaman Buya Hamka naik haji
pada 1927, ketika ia berumur 19 tahun, juga termuat di buku ini. Kisah-kisah
lain adalah kisah haji pada saat Indonesia menjadi merdeka: satu oleh seorang
ulama Kalimantan selama periode revolusi; satu oleh cendekiawan Aceh, Ali
Hasjmy, ketika ikut misi diplomatik ke Mekkah tahun 1949; dan satu lagi oleh
Buya Hamka ketika naik haji untuk kedua kalinya pada umur 42
tahun.
Jilid III antologi kisah haji ini meliputi dasawarsa 1954-1964.
Terdapat di dalamnya kisah pengalaman seorang wartawan Medan, Saiful U.A.;
laporan wartawan kondang, Rosihan Anwar; catatan perjalanan seorang cendekiawan
Malaysia, Harun Aminurrashid; renungan mistik Asrul Sani; serta cerita
pengalaman sutradara film, Misbach Yusa Biran.
Perjalanan haji pada masa itu sedang mengalami
perubahan mendasar. Urusan haji mulai dikelola oleh pemerintah R.I., sedangkan
pemerintah Saudi juga mengawali pekerjaan raksasa untuk memperbaharui situs
prosesi haji. Biarpun demikkian, para jemaah masih naik kapal laut dan jumlahnya
masih sangat kecil dibandingkan masa kini (antara sepersepuluh dan seperdua
puluh), sehingga para jemaah masih sempat melancong dan berkenalan dengan sesama
jemaah dari negara Islam yang lain. Jilid ini dilengkapi suatu uraian tentang
jumlah haji selama periode 1850-2012 seta bibliografi hampir 500 judul di
seputar sejarah perjalanan haji.
Format : 16.00 x 24.00 cm
ISBN : 9786024812867
ISSN : to define
Éditeur :